Tanggungjawab Seorang Pemimpin
Kepemimpinan dalam kaca mata merupakan salah satu hal yang mutlak dalam
kehidupan ini, karena pada dasarnya setiap manusia yang terlahir di dunia ini
ketika ia telah mancapai usia baligh maka ia telah diamanahi Allah sebagai
seorang pemimpin, baik menjadi seorang pemimpin di sebuah keluarga, di
masyarakat, di negara maupun minimalnya menjadi pemimpin untuk diri sendiri.
Karena kepemimpinan pada saat itu ia telah terbebani hukum agama secara penuh.
Apa yang akan kita lakukan jika kita telah diamanahi sebagai seorang pemimpin
disebuah organisasi atau lembaga?
Melihat hal tersebut hakikat semua manusia yang ada di muka bumi ini adalah
seorang pemimpin. Hakikat kepemimpinan dalam islam sendiri merupakan suatu
bentuk tanggungjawab dan bukanlah suatukeistimewaan yang kita dapatkan. Maka
ketika berada di dunia ini ia di tunjuk untuk memimpin suatu kelompok tertentu,
maka wajib baginya untuk
mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya menjadi seorang pemimpin
dihadapan manusia dan juga Allah.
Hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab
Shahih-nya :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ
أَخْبَرَنِى سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رضى الله
عنهما أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ « كُلُّكُمْ رَاعٍ
وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، فَالإِمَامُ رَاعٍ ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ فِى أَهْلِهِ رَاعٍ ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ
عَنْ رَعِيَّتِهَا ، وَالْخَادِمُ فِى مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ ، وَهْوَ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ » قَالَ « وَالرَّجُلُ فِى مَالِ أَبِيهِ رَاعٍ ، وَهْوَ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ
Artinya : “Disampaikan kepada kami oleh Abu al-Yaman, kami
diberitahu oleh Syu’aib dari al-Zuhri berkata, disampaikan kepadaku oleh Slim
bin Abdullah dari Abdullah bin Umar ra. bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw
bersabda; setiap kalian adalah pemimpin dan akan dipinta laporan
pertanggungjawabannya, seorang imam adalah pemimpin dan ia akan dipinta laporan
pertanggungjawabannya, seorang pria adalah pemimpin dan akan dipinta laporan
pertanggungjawabannya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia
akan dipinta laporan pertanggungjawabannya, seorang pembantu adalah pemimpin
terhadap amanah atasannya dan ia akan dipinta laporan pertanggungjawabannya.
Lanjutnya, dan seorang anak adalah pemimpin terhadap amanah orangtuanya dan ia
akan dipinta laporan pertanggungjawabannya, maka kalian semua adalah pemimpin,
dan setiap kalian akan dipinta laporan pertanggungjawabannya.” [HR.
al-Bukhari]
Telah disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah, tidak hanya seorang
laki-laki yang menjadi pemimpin. Seorang wanita dan anak-anak pun adalah
seorang pemimpin, dan diri kita pun memimpin atas diri kita sendiri. Salah satu
contoh kepemimpinan seorang laki-laki yang akan menjadi suami atau kepala
keluarga, tugas suami memimpin istri dan anak-anaknya, menafkahi keluarga,
membimbing, membawa keluarga kepada jalan yang benar. Kepemimpinan seorang
istri, yaitu mentaati dalam hal-hal yang ma’ruf, taat kepada suami yang
didasari nilai dan prinsip, membesarkan dan mendidik anak, dan menata rumah
tangga. Contoh terakhir seorang anak menjadi pemimpin atas ketaatan kepada
kedua orangtua. Mereka semua akan dipinta pertanggungjawaban atas amanah
menjadi seorang pemimpin.
Menurut Drs. H. Malayu
SP. Hasibuan Pemimpin adalah seseorang
dengan wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan
sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan. Setiap manusia adalah pemimpin yang bertanggungjawab atas
kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain, seseorang mesti
bertanggungjawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa
mengantungkan hidupnya kepada orang lain. Hampir 80% seorang pemimpin baik ia
bekerja di kalangan atas ataupun di kalangan bawah mereka menghidupi untuk
keluarganya. Dan sisanya mengidupi untuk dirinya sendiri.
Kita sebagai umat Islam yang memiliki landasan yang kuat tentang
kepemimpinan harus terus berupaya dan berusaha untuk dapat menjelma menjadi
sosok pemimpin yang memberikan
panduan perihal kepemimpinan dengan mencapai tujuannya dan mengutamakan sikap
adil, yakni memberikan amanah kepada orang-orang yang kompeten. Jika tidak,
maka kehancuran demi kehancuran pasti akan segera menimpa.
Masalah keadilan juga Allah tegaskan di dalam Al-Qur’an.
۞ يَـٰٓأَيُّہا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٲمِينَ بِٱلۡقِسۡطِ شُہَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوۡ عَلَىٰٓ
أَنفُسِكُمۡ أَوِ ٱلۡوَٲلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَۚ إِن يَكُنۡ غَنِيًّا أَوۡ
فَقِيرً۬ا فَٱللَّهُ أَوۡلَىٰ بِہِمَاۖ فَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلۡهَوَىٰٓ أَن
تَعۡدِلُواْۚ وَإِن تَلۡوُ ۥۤاْ أَوۡ تُعۡرِضُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ
بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرً۬ا (١٣٥)
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi kerana Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih
tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu kerana ingin
menyimpang darikebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa
yang kamu kerjaan.” (QS. An-Nisa’ [4]:
135).
Ketidakadilan pada seseorang hanya akan mengakiibatkan kahancuran, dimana
yang salah diberi amanah, sedangkan orang yang benar dituduh sebagai pembuat
onar. Ketidakadilan akan mempercepat kericuhan dan kegaduhan bahkan kehancuran
jika dilakukan seorang pemimpin dan penguasa, sementara tidak ada satu pihak
pun yang memberi perimbangan pendapat.
Bagaimana adil, telah dinasehatkan oleh Buya Hamka kepada bangsa
ini. “Adil ialah menimbang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan
yang benar, mengembalikan hak yang empunya dan jangan berlaku zalim di
atasnya.”
Kepemimpinan juga harus menjadi pemimpin yang Qurani dan siap atas
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Artinya bahwa ketika kita menjadi
seorang pemimpin, maka kita akan mengedepankan nilai-nilai agung Al Quran dalam
setiap tindakan, sikap dan kebijakan yang kita ambil ketika menjadi pemimpin.
Tentunya seorang pemimpin yang Qurani bukan diartikan sebagai seorang pemimpin
yang harus terus melantunkan ayat-ayat suci Al Quran dalam kepemimpinannya,
namun lebih dari itu, seorang pemimpin yang Qurani akan selalu mempertimbangkan
segala sikap, tindak tanduk, kebijakan dan pemikirannya dilandaskan Al Quran.
Dan sifat wajib yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang Qurani telah
dicontohkan oleh Rosulullah Muhammad SAW yaitu memiliki sifat Sidiq yang
berarti menjunjung tinggi kebenaran, Amanah yang berarti dapat dipercaya,
Tabligh yang bermakna menyampaikan kebenaran, dan fathonah yang berarti cerdas.
Jika setiap pemimpin memiliki ke4 sifat tersebut, maka tentunya dapat
dijamin tidak akan ada lagi kasus-kasus korupsi, kasus suap menyuap, kasus
permufakatan jahat, dan berbagai kasus-kasus lainnya yang rela menggunakan
segala cara dan upaya hanya untuk menuju tujuannya meski hal tersebut melanggar
norma agama.
Hadirin, jika kita dalami isi hadits ini, sungguh begitu rinci Rasulullah
Muhammad saw dalam mengklasifikasi arti dan tugas kepemimpinan dalam Islam. Dan
ungkapan yang selalu diulang-ulang olehnya “dan akan dipinta laporan
pertanggungjawabannya” merupakan bukti sangat ditekankannya untuk menunaikan
amanah kepemimpinan dari setiap orang. Maka sungguh menjadi orang yang sangat
merugi jika harus bertanggung jawab di hadapan Allah dengan bukti kezhaliman,
bukti kedurhakaan, bukti ketakabburan, dan bukti kemunafikan, na’udzubillahi
min dzalik. Lalu bagaimanakah bertanggungjawab membangun kepribadian yang
berdiri di atas pondasi amanah tersebut, salah satunya yaitu: Selalu Mengingat Allah swt. Mengingat Allah sering di disebut dengan istilah dzikrullah,
dan jika dicari syarah atau penjelas dari kata tersebut maka di dapatkan bahwa
alat untuk mengingat Allah itu adalah ; pertama yaitu lisan, dalam artian bahwa
seluruh ungkapannya adalah kebaikan, tidak ada hinaan, fitnah, kebohongan,
dusta dll. Kedua, akal yakni seluruh pikirannya harus selalu berkeinginan untuk
membangun nilai-nilai peradaban yang baik, bukannya malah untuk mencari
keuntungan prabadi dan kelompok. Ketiga perbuatan, yakni semua kemampuannya
dikeluarkan demi mencapai dan membangun visi yang sudah tertanam di dalam akal
tadi, sehingga ketidak adilan, kezhaliman dan penindasan dengan sendirinya akan
mudah dinegasi di dalam kehidupan kita.
Ketika visi ini yang dibangun di dalam diri maka
apakah masih akan ada politik kotor dalam kepemimpinan kita. Mungkinkah
kehendak untuk korupsi masih akan hadir, apakah perasaan sombong dan takabur
akan mudah kita telan di dalam diri kita? Tentunya tidak, karena Sang Maha Suci
yakni Allah pasti akan menjaga siapapun yang telah mensucikan kepribadiannya.
Namun jika tidak, maka inilah sama seperti yang telah dijelaskan oleh Allah di
dalam firmannya, ketika ada suatu kaum yang diberikan kelebihan segalanya,
namun karena ia abaikan Allah dalam dirinya maka dengan begitu mudah pula Allah
menghancurkan mereka. Lihat surat al-Nahl ayat 112.
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آَمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا
رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا
اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
Artinya : “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah
negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah
ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah;
karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan,
disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.”
Maka dari itu suatu
saat apabila anda diberikan kelebihan segalanya, janganlah abaikan Allah dalam
diri anda, tetaplah rendah hati atas apa yang telah kita dapatkan, karena
susuatu yang kita miliki sifatnya tidak abadi ataupun hanya sesaat dalam
kehidupan kita, perbanyaklah bersyukur, kerjakan sebuah tanggungjawab untuk
mengemban amanah dalam , jalankanlah dengan sebaik-baiknya, sebisa mungkin,
sekuat tenaga, semampunya berlaku adil, tinggalkan perlakuan yang dilarang oleh
seorang pemimpin, dan luruskan niat kita dengan niat ibadah kepada Allah SWT.
Agar kita samua diberi keberkahan dan manfaat disetiap pekerjaan yang kita
lakukan.
Seorang pemimpin dipilih untuk
melanjutkan tugas kenabian yang bertanggung jawab untuk menegakkan agama dan
mengatur kemaslahatan umat.
“Jadilah orang yang bertanggung jawab atas segala tindakan anda.
dengan demikian anda akan menuai hal yang positif.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar